Partai Nasionalis Indonesia (PNI)

| Thursday, March 3, 2016

Pendahuluan
Politik Van de Venter yang telah diterapkan, menyebabkan lahirnya golongan-golongan terpelajar, kaum inteleketual yang mulai merasakan bahwa kolonialisme sebagai ajang eksploitasi ekonomi, politik, sosial budaya. Maka dari itu berubahlah cara perjuangan dari perjuangan otot (menggunakan senjata) ke perjuangan otak (menggunakan akal). Maka lahirlah organisasi pergerakan nasional seperti Budi Utomo, Perhimpunan Indonesia, PKI, SI, PNI.
Perjuangan organisasi tersebut dibagi kedalam dua macam perjuangan, ada perjuangan kooperatif, artinya bekerja sama dengan pemerintah Hindia Belanda, serta perjuangan nonkooperatif artinya tidak bekerja sama dengan Hindia Belanda. Namun mempunyai kesamaan yaitu mencapai Indonesia merdeka.
Pergerakan nasional pada masa kolonial sangat beragam dari segi ideologi. Paling tidak ada tiga ideologi yang sangat besar pengaruhnya pada masa pergerakan nasional. Yaitu : Nasionalis, Pan islamis dan komunis. Pada dekade 1920-an saluran paham nasionalis sangat kental terlihat dari sebuah partai nasionalis yang tak lain adalah Partai Nasionalis Indonesia (PNI).
PNI sebagai organisasi yang nonkooperatif, dilihat dari perkembangannya sebagai partai yang jumlah anggotanya berkembang pesat. Hal in karena kepandaian Soekarno dalam berpidato serta mengajak rakyat untuk menentang kolonialisme serta memperoleh kemerdekaan. Hal ini mendapat sorotan dari Pemerintah Hindia Belanda, kemudian menangkap Soekarno, karena dapat menentang adanya kolonialisme di Indonesia.
Dengan demikian PNI sebagai organisai pergerakan nasional yang cepat berkembang dan cepat tenggelam, meskipun lahirnya PNI baru lebih diam (mencari aman). Sejatinya hanya satu kata yaitu Merdeka dari tangan penjajah. Namun pada hari ini, kita belum merdeka dalam hal politik, ekonomi, sosial, budaya.
PNI bergerak dengan semangat nasionalis dengan basis masanya apalagi kaum Marhenisme. Partai politik buatan Soekarno ini melintasi perjalanan panjang sejarah Indonesia. PNI yang berdiri pada masa Soekarno ini juga runtuh setelah rezim Soekarno digulingkan. PNI yang telah mengalami berbagai masalah dari pelarangan oleh Pemerintah kolonial, perpecahan dalam tubuh PNI, kembalinya PNI hingga mamenangkan pemilu tahun 1955, dan runtuh pada pemerintahan rezim Soeharto merupakan sebuah catatan panjang partai politik di Indonesia.
Pada masa sekarang mungkin kita juga sering mendengar PNI dalam pemilu belakangan ini, tetapi itu bukanlah PNI yang akan kita bahas pada makalah ini. Pembahasan makalah ini merupakan pembahasan pada PNI semasa Soekarno hidup. Dampak pemikiran Soekarno yang terdapat di PNI ini yang ada pada partai politik Indonesia seperti PDI dan PNI , yang mana tetap mengunakan popularitas Soekarno.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Latar belakang berdirinya PNI

Soekarno ketika bersekolah di HBS, mondok bersama H.O.S Cokroaminoto,. Tahun 1921 menamatkan HBS, kemudian menikah dengan anak Cokroaminoto. Soekarno melanjutkan ke Sekolah Tinggi Teknik (Technische Hoge School) di Bandung. Kemudian beliau menikahi Inggit Ganarsih (isteri pemilik pondok), dan menceraikan Puteri Cokroaminoto.
Pada bulan November 1925, tahun terakhirnya ia menyelesaikan studinya, membantu mendirikan Algemeene Studieclub “ kelompok belajar umum” di kalangan mahasiswa. Kelompok belajar-nya Soekarno nyata bersifat politik, dengan kemerdekaan Indonesia sebagai tujuannya. Pada tanggal 4 Juli 1927 berdirilah di kota Bandung atas usaha Dr. Cipto Mangoenkoesoemo, Ir. Soekarno, Mr. Iskaq Cokroadisoerjo, Mr. Sartono, Mr. Boediarto, Mr. Soenarjo, Dr. Samsi, Ir. Anwari dan lainnya, “Perserikatan Nasional Indonesia” atau PNI. Menarik perhatian bahwa peresmian berdirinya PNI berlangsung pada tanggal 4 Juli 1927. Tanggal kelahiran PNI jelas bukan suatu kebetulan. Almarhum Adam Malik dalam bukunya Adam Malik Mengabdi RI pernah menjelaskan bahwa pilihan tanggal 4 Juli ada kaitannya dengan hari kemerdekaan Amerika Serikat.
Sejarah mencatat proklamasi kemerdekaan Amerika berlangsung pada tanggal 4 Juli 1776 di Philadelpia. Dengan memilih 4 Juli sebagai hari berdirinya PNI, para pemimpin PNI berharap semangat, siasat dan keberhasilan revolusi kemerdekaan Amerika akan mengilhami semangat, siasat dan keberhasilan perjuangan bangsa Indonesia di bawah pimpinan PNI. Bung Karno berharap bangsa Indonesia dapat bersatu padu, karena hanya dengan cara begitu mereka dapat menang menghadapi penjajah. Untuk itu paham atau ideologi yang berbeda perlu dipersatukan lewat persamaan-persamaan yang ada. Demikianlah Bung Karno pada tahun 1926 mengajak pendukung ideologi Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme untuk dapat dan mau bersatu. Perbedaan- perbedaan yang ada mestinya dikesampingkan.
Asas dan tujuan partai ini sangat jelas yaitu perjuangannya yang bersifat antikolonialisme nonkooperasi, dan organisasi massa. Maka dalam hubungan itu membangkitkan kesadaran nasional adalah salah satu tugas PNI, yaitu mengsinyafkan rakyat akan besarnya penderitaan dalam menghadapi eksploitasi ekonomi, sosial, dan politiknya yang dijalankan oleh penguasa kolonial.
Kemudian tujuan ini hendak dicapai dengan azas ”selfhelp” dengan menimbulkan suatu pergerakan rakyat yang sadar, yang percaya atas tenaga dan kekuatan sendiri. Di dalam keterangan azasnya diterangkan bahwa susunan masyarakat Indonesia, baik dalam aspek politik, ekonomi dan sosial sudah dirusak oleh kapitalisme-imperialisme, dirusak oleh penjajahan.
Maka jalan satu-satunya adalah untuk memperbaiki susunan masyarakat yang sudah rusak itu ialah dengan mencapai terlebih dahulu kemerdekaan politik yang berarti berakhirnya pengaruh perusak kapitalisme imperialisme yang berbuntut penjajahan. Dengan demikian seluruh tenaga nasional akan dikerahkan untuk mencapai kemerdekaan politik, untuk melaksanakan cita-cita Indonesia Merdeka.

Perkembangan PNI
PNI lahir sebagai tanda kesadaran kesadaran rakyat Indonesia dan sebagai kelanjutan pergerakan kebangsaan Indonesia yang sudah dirintis oleh organisasi sosial politik sebelumnya. PNI didirikan dan dipimpin oleh kaum muda yang terpelajar dan telah mendapatkan pendidikan politik melalui kursus-kursus politik maupun buku-buku pergerakan. Sebagian mereka adalah mantan anggota Perhimpunan Indonesia (PI) yang belajar di Negeri Belanda. Setelah dipecat dari Perhimpunan Indonesia di Belanda oleh kader-kader komunis (seperti Rustam Effendi, Setiadjid dan Abdul Madjid)
Program Kerja PNI antara lain pendirian koperasi, memberantas riba, mandat dan judi, meningkatkan kesehatan, membuka sekolah-sekolah, memperbaiki status wanita, dan meningkatkan perdagangan dan perusahaa pribumi, namun karena konsentrasi pada tujuan politik membawa akibat bahwa soal-soal ekonomi, sosial, dan kultural kurang mendapat perhatian.
Dalam kongres di Surabaya tanggal 27-30 Mei 1928, diputuskan untuk mengganti perkataan ”perserikatan” menjadi perkataan ”partai”. Perkumpulan selanjutnya akan disebut ”Partai Nasional Indonesia” atau dikenal sebagai PNI. Pergantian nama ini berarti meningkatnya PNI menjadi suatu organisasi yang lebih tersusun, menjadi suatu partai politik yang harus mempunyai program politik, ekonomi, dan sosial yang tertentu dan berhati-hati dalam penerimaan anggota.

Di dalam kongres ini ditentukan pula suatu daftar usaha yang memuat dalam hal :
A. Politik
1. Memperkuat perasaan kebangsaan dan perasaan persatuan Indonesia.
2. Menyebarkan pengetahuan dan ilmu tentang sejarah nasional dan memperbaiki hukum nasional.
3. Mempererat perhubungan antara bangsa-bangsa di Asia.
4. Menuntut kemerdekaan diri, kemerdekaan pers, dan kemerdekaan berserikat dan berkumpul
B. Ekonomi
1. Berusaha untuk mencapai perekonomian nasional yang dapat berdiri sendiri
2. Menyokong perdagangan dan perindustrian nasional
3. Mendirikan Bank Nasional dan koperasi-koperasi untuk mencegah riba.
C. Sosial
1. Memajukan pengajaran nasional
2. Memperbaiki kedudukan kaum wanita
3. Memajukan sarekat-sarekat buruh dan Tani
4. Memperbaiki kesehatan rakyat
5. Mengajukan monogami.

Popularitas PNI berkembang pesat karena pengaruh Soekarno dengan pidato-pidatonya yang sangat menarik perhatian rakyat. Kewibawaan dan gaya bahasa sebagai alat bagaimana pidato-pidato Soekarno sangat ditunggu-tunggu disetiap pertemuan rapat PNI. Pada akhir tahun 1928 sudah ada 2787 orang anggotanya, sampai Mei 1929 anggotanya telah mencapai 3860 orang (sebagian besar di Bandung, Batavia, dan Surabaya); pada akhir tahun 1929, jumlah anggota partai ini mencapai 10.000 orang.
Soekarno menekadkan untuk mengejar Indonesia Merdeka di bawah panji-panji Merah Putih Kepala Banteng (Merah-keberanian, Putih-kebersihan hati, Kepala Banteng-percaya kepada kekuatan dan tenaga sendiri).
Usaha propaganda dilakukan dengan membentuk serikat sekerja supir ”Persatuan Motoris Indonesia”, Serikat Anak Kapal Indonesia”, Persatuan Jongos Indonesia”
Partai Sarekat Islam, Budi Utomo, Study Club Surabaya, serta organisasi-organisasi kedaerahan dan kristen yang penting bergabung bersama PNI dalam suatu wadah yang dikenal sebagai PPKI (Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia). Gagasan nasionalisme seluruh Indonesia sebagai ukuran umum kini muncul semakin kuat. Maka para pemimpin terpelajar kelompok-kelompok suku bangsa dan kedaerahan menerima konsep itu antara lain sebagai alat untuk mempertahankan diri dari dominasi suku Jawa yang potensial, sedangkan kelompok-kelompok Kristen memandang konsep tersebut antara lain sebagai alat untuk mempertahankan diri dari dominasi Islam.
Namun perbedaan-perbedaan, tujuan, ideologi, dan kepribadian yang nyata masih tetap memecah belah gerakan-gerakan tersebut. PSI yang berganti nama menjadi PSII keluar dari PPKI, karena kelompok-kelompok menolak untuk mengakui peranan utama Islam yang oleh para pemimpin Islam perkotaan.
Bagi PNI, untuk memperoleh pergerakan rakyat yang sadar, maka perkumpulan perlu mempunyai azas yang terang dan jelas, perlu mempunyai suatu teori nasionalisme yang radikal yang dapat menimbulkan kemauan yang satu, yaitu kemauan nasional. Bila kemauan nasional ini cukup tersebar dan masuk mendalam di hati sanubari rakyat, maka kemauan nasional ini menjadi suatu perbuatan, yaitu perbuatan nasional (nationale geest-nationale wil-nationale daad). Dan di dalam anggaran dasar PNI dicantumkan maksud dan tujuannya secara tegas, yaitu Indonesia Merdeka. Ini berarti PNI mengambil jalan non-kooperatif dengan pemerintah Hindia Belanda.
Masa-masa awal sangat dipengaruhi oleh ideologi PNI dan mentalitas
PNI dalam membentuk mesin birokrasi dan mengerahkan massa. Maka, disinilah arti
penting PNI-Birokrasi menjadi eksis dalam percaturan politik yang
terjadi Indonesia.
Melihat aktifitas politik PNI yang semakin meningkat, pemerintah Hindia Belanda memberi peringatan kepada pimpinan PNI pada tanggal 15 Mei 1928 di sidang pembukaan “Volksraad” yang diucapkan oleh Gubernur Jenderal de Graeff untuk menahan diri.
Meski ada peringatan dari pemerintah Hindia Belanda, PNI tetap terus melakukan kegiatan politiknya, salah satunya adalah dengan menyelenggarakan kongres yang pertama. Pada kongres yang diadakan di Surabaya, tanggal 27-30 Mei 1928, PNI memutuskan merubah namanya menjadi “Partai Nasional Indonesia”. Perubahan nama ini berarti meningkatnya PNI menjadi suatu organisasi yang lebih tersusun rapi, menjadi suatu partai politik yang harus mempunyai program politik, ekonomi dan sosial yang lebih baik dan berhati-hati dalam penerimaan anggota. Sebagai anggota hanya dapat diterima orang-orang yang sadar dan aktif.
Di kongres kedua yang diadakan di Jakarta tanggal 18-20 Mei 1929, ketua PNI Bung Karno memberikan pidato yang berapi-api di depan peserta kongres. Bung Karno memantapkan kebulatan hati anggota PNI untuk mengejar Indonesia Merdeka dibawah panji-panji “Merah-Putih-Kepala Banteng”. Merah berarti keberanian, putih kebersihan hati sedangkan kepala banteng berarti percaya pada kekuatan dan tenaga sendiri.
Media Propaganda PNI
Pemerintah Hindia Belanda yang semakin hari bertambah cemas melihat pengaruh yang diperoleh PNI dimana-mana, mulai menunjukkan tangan besi. Soekarno yang juga menulis berbagai tulisan yang menyerang Belanda. Soeloeh Indonesia Moeda, Persatoean Indonsesia dan Fikiran Ra’jat. Dari media tulis menulis inilah Soekarno mencurahkan segala ide tentang nasionalisme, antiimperialisme, dan antikolonialisme hingga ide yang di gandrunginya, sosialisme. Tetapi dari ketiga surat kabar tersebut Fikiran Ra’jat yang ditujuakan untuk kaum Marhaen yang paham membaca dan menulis.
Tujuan Seokarno menulis di media tersebut adalah untuk memompa semagat nasionalisme dikalangan rakyat untuk menentang imperialisme dan kolonialisme di Tanah air. Kaum Marhaen di Fikiran Ra’jat dicirikan sebagai masyarakat miskin, buruh terbodohkan dan terjajah, mereka adalah masyarakat yang harus bangkit dari keterpurukannya untuk lahir kembali sebagai manusia yang merdeka di tanahnya sendiri.
Bung Karno dan Gatot Mangkoepraja, setelah selesai menghadiri kongres PPPKI (Permufakatan Perhimpunan Politik Kebangasaan Indonesa) yang kedua di Solo pada tanggal 29 Desember 1929 ditangkap pemerintah Hindia Belanda. Kemudian mereka dibawa ke Bandung dengan penjagaan yang ketat kemudian ditempatkan di penjara Sukamiskin. Begitu pula dengan beberapa pimpinan teras PNI lainnya. Setelah itu mereka diadili di pengadilan landrad di bandung, yang menghasilkan suatu pidato pembelaan soekarno yang sangat terkenal yaitu “Indonesia Menggugat”.
Tuduhan yang dikenakan pemerintah Hindia Belanda adalah pasal karet, haatzai artikelen. Mereka dituduh menggangu keamanan dalam negeri dan hendak melakukkan pemberontakan sehingga melanggar artikel 10 buku hukum pidana dan artikel 163 bis ter buku hukum pidana. Dan juga artikel 171 undang-undang hukum pidana tentang menyiarkan kabar dusta untuk mengangu ketertiban umum.
Perpecahan di Tubuh PNI
Sesudah Bung Karno ditahan, dan dijatuhi hukuman selama 4 tahun kepemimpinan PNI diambil alih oleh Mr. Sartono. Setelah melalui kongres pada bulan Februari 1931 di Jakarta, Pengurus Besar PNI mengeluarkan maklumat tentang pembubaran PNI dengan alasan untuk menjaga anggota-anggota PNI lainnya agar tidak mendapatkan kesulitan karena dituduh sebagai anggota partai terlarang.
Pengurus besar PNI atas anjuran Mr. Sartono, berkenaan dengan keputusan pengadilan negeri Bandung tersebut, mengusulkan pembubaran PNI dan sebagai gantinya mereka mendirikan Partai Indonesia (Partindo). Partai ini bertujuan Indonesia Merdeka dan berdiri atas dasar nasionalisme dan “self-help” atau yang lazimnya dikenal sebagai sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi. Ketika Bung Karno keluar dari penjara Sukamiskin pada pertengahan 1932, ia mendapati PNI (lama) telah terpecah menjadi dua yaitu PNI (Baru) dan Partindo. Namun akhirnya Bung Karno memilih Partindo sebagai basis perjuangannya.
Walaupun begitu ia tidak puas melihat perkembangan partai itu, apalagi ia mendengar adanya desas-desus bahwa PNI baru juga bermaksud menggunakan nama lama itu. Ia mengusulkan kepada Badan Pengurus partindo pada bulan Maret 1933 agar merubah namanya menjadi Partai Nasional Indonesia. Tujuannya adalah untuk memperluas jumlah cabang Partindo, dalam persaingan dengan PNI baru. Pada waktu itu, kepemimpinan partai nasionalis terpecah dua, yaitu Soekarno/Sartono bersaing dengan Hatta/Syahrir. Bagi Soekarno pribadi, hanya dia yang berhak menggunakan nama asli itu, sebab itu adalah partainya.
Walaupun ia gagal mengubah nama partai itu, tetapi ideologi Marhaenisme yang merupakan rumusan orsinal yang diperkenalkan Soekarno. Secara resmi diterima sebagai dasar-dasar politik partai dalam kongres bulan Juli 1933. Ideologi itu tidak menunjukkan adanya perubahan penting dalam pemikiran politik Soekarno, hanya sekadar menghaluskan ide-idenya tentang politik, sosial dan ekonomi yang dikemukakan sejak tahun 1927 sejalan dengan arus utama gerakan nasionalis sekuler.
Namun demikian kejadian tersebut ditentang oleh beberapa tokoh PNI lainnya seperti Soedjadi Moerad, Kantaatmaka, Bondan, Soekarto dan Teguh. Mereka menolak bergabung dengan Partindo dan membentuk dalam daerahnya masing-masing “Golongan Merdeka”.

Pendidikan Nasional Indonesia (PNI-baru)
Soedjadi Moerad yang sudah lama berkorespondensi dengan Hatta yaitu sejak sebelum didirikannya PNI (tanggal 4 Juli 1927) menyampaikan sikap mereka kepada Hatta, yaitu tentang bubarnya PNI dan pembentukan “Golongan Merdeka”. Bagi Hatta pembubaran PNI melemahkan pergerakan rakyat.
Mohammad Hatta kemudian membuat kesepakatan dengan Soedjadi Moerad, untuk menerbitkan majalah yang diterbitkan sekali dalam 10 hari guna pendidikan kader baru. Hatta mengusulkan majalah itu diberi nama “Daulat Rakjat”, yang mempertahankan asas kerakyatan yang sebenarnya dalam segala susunan politik, perekonomian dan pergaulan sosial. Kemudian Hatta dan Sjahrir bermufakat agar Sjahrir pulang ke Indonesia pada Bulan Desember 1931 untuk membantu “Golongan Merdeka” serta membantu “Daulat Rakjat”.
Pada tanggal 25-27 Desember 1931 (menurut Soebadio Sastroastomo diadakan pada bulan Februari 1932) sebuah konferensi diadakan di Yogyakarta untuk merampungkan penyatuan golongan-golongan Merdeka yang mana kelompok tersebut kemudian diberi nama Pendidikan Nasional Indonesia atau yang dikenal sebagai PNI-Baru dengan Soekemi sebagai ketuanya. Sjahrir terpilih sebagai ketua cabang Jakarta dan sekretaris cabangnya adalah Djohan Sjahroezah.
Kemudian dalam Kongres Pendidikan Nasional Indonesia bulan Juni 1932 yang berlangsung di Bandung Sjahrir terpilih menjadi Pimpinan Umum Pendidikan Nasional Indonesia menggantikan Soekemi. Dalam kongres itu dirumuskan bahwa PNI Baru sebagai suatu partai politik merupakan partai kader. Keputusan bahwa PNI Baru adalah sebagai partai kader setelah mengalami diskusi yang cukup panjang dan rumit yang pada akhirnya argumentasi Sjahrir yang cukup kuat untuk membawa PNI Baru sebagai partai kader dapat diterima oleh sebagian besar pengurus. Dan dengan pulangnya Hatta pada awal tahun 1933, Pimpinan Umum PNI Baru diserahkan oleh Sjahrir kepada Hatta.
Dimasukkannya kata “Pendidikan” ke dalam nama partai mengandung maksud yang serius. Sebagian besar kegiatan partai ini adalah menyelenggarakan pendidikan politik bagi para anggotanya, yang sebagian dilakukan melalui halaman-halaman “Daulat Rakjat” dan tulisan-tulisan lain, termasuk risalah “Kearah Indonesia Merdeka”-KIM yang secara khusus ditulis oleh Hatta sebagai semacam manifesto pergerakan itu.
Arah sentral pendidikan diungkapkan ke dalam 150 pertanyaan di dalam KIM yang mencakup banyak aspek politik, ekonomi dan sosial. Beberapa pertanyaan dalam KIM diantaranya :
 Apa tujuan PNI baru ?
 Apa yang dimaksud dengan nasionalisme ?
 Apa yang dimaksud dengan demokrasi ?
 Apa itu parlemen ?
 Apa yang dimaksudkan oleh Montesqieu dengan otokrasi, oligarki dan revolusi ?
 Siapakah Rousseau dan apa yang diajarkannya ?
 Apa itu Revolusi Industri ?
 Apakah kartel itu ?
 Bagaimana sifat kombinasi vertikal ? Bagaimana pula kombinasi horisontal ?
 Dan lainnya
Secara keseluruhan, jawaban-jawaban itu mengandung suatu doktrin yang jelas walaupun sederhana, bahwa kekuasaan politik didistribusikan menurut distribusi kekuasaan ekonomi dalam suatu masyarakat, bahwa kebebasan politik tanpa persamaan di bidang ekonomi sangatlah terbatas dan bahwa kemerdekaan Indonesia baru merupakan realita jika disertai perubahan ekonomi, sebagaimana pertanyaan (kunci) sebagai berikut,
“Mengapa demokrasi politik saja tidak cukup ?”. Jawabannya, “Demokrasi politik saja tidak cukup karena ia akan dilumpuhkan oleh otokrasi yang masih ada di bidang-bidang ekonomi dan sosial. Mayoritas rakyat masih menderita di bawah kekuasaan kaum kapitalis dan majikan”.
Suasana dalam kursus-kursus yang diselenggarakan oleh Pendidikan Nasional Indonesia dan kesungguhan anggota-anggotanya mengingatkan banyak orang kepada “Workers Educational Association” (WEA-Perhimpunan Pendidikan Kaum Buruh) yang berusaha memberikan pendidikan kepada masyarakat Inggris pada akhir abad 19. WEA mempunyai ikatan-ikatan yang kuat dengan gerakan Fabian dan sebagian kegiatannya adalah memberikan pendidikan sosialis.
Meskipun anggota PNI Baru bukan terdiri dari kelas pekerja, karena sebagian besar mereka adalah berpendidikan menengah, namun mereka menginginkan suatu pendidikan politik yang berwarna sosialis yang akan membawa mereka melampaui batas-batas gaya agitasi nasionalisme yang sempit. Dengan cara ini, PNI Baru, dibawah kepemimpinan Hatta dan Sjahrir, mengembangkan suatu pandangan dunia yang khas dan suatu cara yang unik dalam membahas masalah-masalah yang sedang dihadapi oleh pergerakan kebangsaan.
Yang pasti PNI Baru memiliki pandangan yang berbeda dengan PNI Lama ataupun Partindo. PNI Baru bersikap kritis dengan terhadap watak PNI Lama dan Partindo seperti gaya agitasi yang ekspresif dan mempertahankan persatuan nasional tanpa syarat. Bagi Hatta dan Sjahrir, persatuan tidak ada artinya kecuali apabila didasarkan pada pengertian atas prinsip-prinsip bersama.
PNI Baru banyak berhutang kepada tradisi sosial demokrasi Eropa. Ciri khasnya adalah pengutamaan terhadap teori sosial sebagai suatu pedoman aksi, adanya koherensi pada pandangan dunianya yang merangkul analisis-analisis tentang kapitalisme, imperialisme dan munculnya fasisme yang saling melengkapi dan berusaha untuk menempatkan kemalangan Indonesia dalam suatu gambaran global. Tentu saja harus diakui bahwa sejauh menyangkut analisis-analisisnya mengenai imperialisme dan tatanan sosial, PNI Baru tidak memiliki monopoli ideologis.
Kesadaran diri akan perjuangan melawan kapitalisme, imperialisme dan fasisme melalui kegiatan intelektual masih mempunyai arti penting pada tahun 1948 ketika anggota-anggota PNI Baru yang masih hidup, bersama-sama dengan orang yang sependirian dan generasi yang lebih muda keluar dari Partai Sosialis untuk mendirikan PSI.
Karena kegiatan aktivitas politik PNI Baru yang dinilai mulai membahayakan bagi pemerintah kolonial Belanda maka pada tanggal 25 Februari 1934 jajaran teras PNI Baru seperti Hatta, Sjahrir, Bondan, Burhanuddin, Murwoto, Soeka, Hamdani, Wangsawidjaja, Basri, Atmadipura, Oesman, Setiarata, Kartawikanta, Tisno, Wagiman dan Karwani ditangkap. Sekitar bulan Januari 1935, Hatta, Sjahrir dan beberapa pimpinan PNI Baru diasingkan ke Boven Digoel.
PNI Setelah Kemerdekaan
Setelah Indonesia mencapai kemerdekaan. Dengan adanya Maklumat Pemerintah, yang menginginkan timbulnya partai-partai politik untuk menampung aspirasi yang berkembang di dalam masyarakat. Maka sejak itu berdirilah berbagai organisasi, salah satunya adalah Partai Nasional Indonesia, bukanlah partai yang didirikan dulu pada masa kekuasaan kolonial dan juga bukan partai tunggal yang direncanakan sebagai partai negara, seperti biasanya dilakukan negara-negara berkembang dalam membangun bangsa dan negara. berkembang menjadi Partai Priyayi. PNI pada dekade 1950-an menjadi Partai yang selalu mendominasi struktur kabinet.
Dari sanalah kemudian PNI menjadi ikon Partai Pemerintah” apapun yang berbau PNI selalu diartikan sebagai `karir dan kelas elite masyarakat Indonesia’. Walaupun PNI gaya baru ini tidak seradikal PNI masa muda Bung Karno, setidak-tidaknya di jaman ini PNI memberi sumbangan pada gaya hidup, agen pensuplai mesin birokrasi yang solid di tengah tidak stabilnya struktur kabinet dan penggerak getar romantika patriotisme ala Sukarno.
Dalam perkembangannya internal ideologi PNI memencar ke dalam spektrum yang luas, dari Nasionalisme kanan sampai Nasionalisme kiri. PNI kanan kerap dikenang sebagai PNI “berkarakter Hardi”.Sementara PNI garis keras, bersimpati pada gerakan kiri adalah PNI berkarakter Ali Sastroamidjojo”.Spektrum Ali-Hardi inilah yang kemudian mewariskan bentuk PNI dan beberapa dinamika internal Partai sepanjang 1950-an sampai awal 1973 ketika PNI.
Walaupun begitu, PNI memperoleh keuntungan banyak dengan mengaitkan namanya dengan Soekarno dan juga dengan adanya konotasi dengan nama Partai Nasional Indonesia yang direncanakan sebagai Partai Pelopor (partai tunggal) yang tidak jadi didirikan itu. Sebagian besar anggota partai itu adalah mantan anggota PNI lama, mereka masuk ke dalamnya karena dianggap mempunyai kesesuaian dengan PNI lama dan mereka mengharapkan bahwa partai baru itu mempunyai sebagian martabat PNI lama.
Dalam keadaan seperti itulah partai politik itu berkembang selama revolusi fisik dan mencapai puncak pada tahun 1955. Untuk melihat kekuatan yang nyata dari partai-partai politik yang tumbuh seperti jamur itu, maka diadakanlah Pemilihan Umum tahun itu juga. Ternyata Partai Nasional Indonesia memperoleh suara terbanyak di antara kontestan yang lainnya berkat usaha PNI selalu mendekatkan diri dengan Presiden Soekarno, yang dikenal sebagai pendiri PNI lama dan pencetus ajaran marhaenisme yang menjadi asas partai. Tetapi yang jelas, melalui identifikasi dengan Soekarno, merupakan faktor kunci dalam meningkatkan hubungan dengan massa pendukungnya.
Ketergantungan semacam itu diperlihatkan kembali, ketika diadakan kongres PNI kesembilan di Solo tahun 1960, Soekarno menginginkan agar PNI mengikuti segala kebijakan yang dijalankan pemerintah. Keinginan tersebut jelas menunjukkan betapa rapat hubungan antara Soekarno dengan PNI. Tentu saja hubungan tersebut merupakan hubungan saling menguntungkan kedua belah pihak. PNI memperoleh dukungan rakyat akibat identifikasi dengan Soekarno, sebaliknya Soekarno meminta imbalan berupa dukungan terhadap kebijakan dalam pemerintahan Soekarno.

Apalagi kalau kita mendengar pernyataannya ia meminta agar marhaenisme yang dijadikan ideologi PNI, disesuaikan dengan apa yang dimaksudnya. Akhirnya dalam perkembangannya masalah ideologi itu menjadi polemik yang berkepanjangan, sehingga menimbulkan pertentangan dalam tubuh organisasi itu. Yang jelas menurut permintaan Soekarno, seperti yang dilakukan PNI merumuskan ideologi tersebut, hanya menunjukkan bahwa betapa besar ketergantungannya terhadap Presiden Soekarno.
Setelah kejatuhan Soekarno, PNI menjadi bulan-bulanan kekuatan politik lain, akibat hubungannya dengan Soekarno. Usaha membuat PNI kembali menjadi suatu partai yang berpengaruh terhadap jalannya sejarah republik ini. Dengan diadakan kongres kedua belas pada bulan April di Semarang, yang merupakan kongres pertama pada masa pemerintahan Soeharto. Justru dalam kongres itu malah terjadi perpecahan dalam kubu PNI berkaitan dengan jalan apa yang harus ditempuh untuk memenuhi ambisinya. PNI jadi dua kubu: Kelompok pragmatis yang menginginkan pendapat sedikit pengaruh dalam pemerintahan, berusaha mengandalkan kerja sama dengan pemerintahan Soeharto. Sebaliknya kelompok ideologi menolak segala campur tangan luar dan lebih memperhatikan ideologi marhaenisme sebagai identitas partai.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
PNI adalah entitas yang dinamis karena pertentangan berbagai unsur di dalamnya. PNI adalah Jawasentris dan sekuler, tetapi mencakup unsur non-Jawa dan Islam. Kelompok birokrat priayi, lapisan sosial atas berpendidikan Barat, dan Berbeda dengan agama yang disatukan oleh konsep “umat” atau komunisme yang mewadahi perjuangan kelas proletar, nasionalisme memiliki kontradiksi karena penyatuan rakyat dilakukan bukan atas nama mereka, tetapi atas nama bangsa dan negara dengan sebuah identitas primordial.
Lalu partai nasionalis sering mencari figur karismatis untuk menyatukan pengikutnya. Pendukungnya yang memiliki beragam identitas primordial dan kelas sosial menemukan wadah kulturalnya, yakni budaya feodal yang masih berakar kuat. Sehingga kita dapat melihat bagaimana Soekarno menjadi jantung dari pergerakan PNI. PNI langsung kehilangan pamornya ketika Soekarno ditangkap .
Pada era 1950-an, PNI melakukan propaganda dengan menyebut Soekarno sebagai pemimpin PNI, padahal itu terjadi pada era 1920-an. Kedekatan PNI dengan soekarno membuat PNI mendapatkan dukungan yang besar dari rakyat Indonesia . PNI berhasil memenangkan pemilu pertama dan juga mendapatkan posisi strategis dipemerintahan. Itu semua tidak lepas dari nama besar soekarno sebagai pendiri PNI. Sehingga PNI dapat di Identikan dengan Seokarno.

Daftar Pustaka
Kartodirjdo, Sartono. 1993. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Jilid II Jakarta : Gramedia Pustaka Utama
Lubis, L.M. 1987. Sejarah Pergerakan dan Kemerdekaan Indonesia. Jakarta : Dian Rakyat
Rahzen ,Taufik. Tahah Air Bahasa. Seratus Jejak Pers Indonesia. (I:boekoe):Jakarta.2007
Ricklef, M.C.2001. Sejarah Indonesia Modern Jakarta : Serambi Ilmu Semesta
Ricklefts, M.C. Sejarah Indonesia Modern. Gadjah Mada University Press:Yogyakarta 1991

0 comments:

Post a Comment

Next Prev

Menu

.
NewAdrDownload. Powered by Blogger.

Tombol Atas

Blogger templates

▲Top▲